Laporan Pembahasan Sasirangan



KATA PENGANTARPuji syukur kita  panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkaat dan rahmat-nya makalah ini terselesaikan. Kata pengantar ini di buat dalam rangka tugas TIK dalam proyeksi Membudayakan Seni Budaya Daerah Banjar. Saya mohon maaf jika  dalam   penyusunan     makalah  ini  terdapat kesalahan, baik  tentang  isi  maupun urutan penyusunan. Demikian karya ilmiah ini  disusun agar dapat dipergunakan semestinya dan menabah wawasan budaya bangsa Indonesai


Banjarbaru, Desember 2012


BAB I

PENDAHULUAN


        
Kain sasiragan merupakan kain khas suku banjar yang bersal dari kalimantan selatan. Kata “Sasirangan” berasal dari kata sirang (bahasa setempat) yang berarti diikat atau dijahit dengan tangan dan ditarik benangnya atau dalam istilah bahasa jahit menjahit dismoke/dijelujur. Kalau di Jawa disebut jumputan.
      Kain sasirangan dibuat dengan memakai bahan kain mori, polyester yang dijahit dengan cara tertentu. Kemudian disapu dengan bermacam-macam warna yang diinginkan, sehingga menghasilkan suatu bahan busana yang bercorak aneka warna dengan garis-garis atau motif 



BAB 2

SEJARAH

        Kain Sasirangan sudah ada sejak zaman Kerajaan dahulu kala di Kalimantan Selatan, yaitu sekitar abad ke-17. Masyarakat Banjar percaya bahwa kain Sasirangan tidak hanya sebatas pakaian atau kain biasa saja, namun memiliki nilai sakral dan nilai magis yang tinggi. Kata Sasirangan berasal dari kata sirang yang berarti diikat atau dijahit dengan tangan dan ditarik benangnya atau dalam istilah menjahit disebut dengan dijelujur. Menurut cerita orang tua, dulunya Sasirangan digunakan sebagai pakain yang dipakai dalam upacara-upacara adat atau juga untuk menyembuhkan orang yang sakit.
      Menurut cerita rakyat masayarakat Banjar, kain Sasirangan yang pertama dibuat pada masa kerajaan Negara Dipa. Pada mulanya kain Sasirangan disebut dengan kain Langgundi, yaitu kain tenun yang berwarna kuning. Kain Langgundi merupakan kain yang digunakan sebagai bahan untuk membuat pakaian harian seluruh warga kerajaan Negara Dipa. Dikisahkan pada saat itu Patih Lambung Mangkurat sedang bertapa menggunakan lantinguntuk mencari seorang raja untuk kerajaan Negara Dipa. Ketika sedang bertapa, Patih Lambung Mangkurat mendengar suara perempuan yang menanyakan maksudnya dan diapun menjelaskan maksud pertapaannya tersebut adalah untuk mencari seorang raja di kerajaanya. Suara perempuan itupun mengatakan bahwa raja yang sedang dicari oleh Patih Lambung Mangkurat itu adalah dirinya, namun perempuan itu mengatakan dia hanya akan menampkkan diri jika Patih Lambung Mangkurat memenuhi permintaanya. Perempuan itu meminta Patih Lambung Mangkurat untuk membuatkannya sebuah istana yang megah yang dibangun oleh 40 orang perjaka dan sehelai kain Langgundi yang ditenun oleh 40 orang perawan, yang keduanya itu harus selesai dalam waktu satu hari. Patih Lambung Mangkurat menyetujuinya dan langsung melaksanakanya.Pada saat yang telah ditentukan, maka perempuan itu menampakkan diri. Perempuan itu keluar dari dalam air dengan cantiknya dengan menggunakan kain Langgundi yang telah ditenun oleh 40 orang perawan. Perempuan itu disebut oleh warga kerajaan Negara Dipa dengan sebutan Putri Junjung Buih, karena muncul dari dalam air yang beriak/berbuih.
      Sejak saat itulah warga kerajaan Negara Dipa tidak berani lagi menggunakan kain Langgundi/Sasirangan karena takut kualat terhadap Putri Junjung Buih. Hal ini mengakibatkan banyak pengrajin kain Langgundi yang tidak lagi membuatnya. Meskipun demikian tidak semuanya berhenti membuat kain Langgundi ini. Masih ada beberapa yang tetap membuatnya, namun tidak untuk dijadikan sebagai pakaian sehari-hari melainkan untuk pengobatan bagi penyakit yang bersifat magis.Menurut keyakinan masayarakat Banjar yang [kadang-kadang] masih dipengaruhi oleh kepercayaan animisme dan dinamisme, maka banyak penyakit yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus dan kain Langgundi/Sasirangan merupakan suatu media untuk penyembuhannya. Biasanya penyakit yang dapat disembuhkan oleh kain Langgundi ini adalah penyakit pingitan, yaitu penyakit yang berasal dari ulah para leluhur yang tinggal di alam roh. Dalam kurun waktu tertentu akan ada anak, cucu, buyut, intah, ataupun yang lain akan terkena penyakit pingitan ini dan untuk penyembuhannya mereka harus mengenakan kain Langgundi. Sebagai media penyembuhan, kain Langgundi bisa digunakan sebagai sarung, kemben, selendang, atau juga ikat kepala (laung). Corak dan warna kain Langgundi sangatlah beragam, karena setiap jenis penyakit pingitan memerlukan corak dan warna kain Langgundi tertentu juga. Sejak digunakan menjadi media pengobatan, maka kain Langgundi lebih dikenal dengan sebutan kain Sasirangan.
            Pada saat yang telah ditentukan, maka perempuan itu menampakkan diri. Perempuan itu keluar dari dalam air dengan cantiknya dengan menggunakan kain Langgundi yang telah ditenun oleh 40 orang perawan. Perempuan itu disebut oleh warga kerajaan Negara Dipa dengan sebutan Putri Junjung Buih(Penguasa Alam Bawah), karena muncul dari dalam air yang beriak/berbuih. 

BAB 3

KEPUNAHAN

   Perkembangan zaman telah merubah fungsi kain Sasirangan dalam  masyarakat Kalimantan Selatan. 
Nilai-nilai sakral yang terkandung di dalamnya  seolah-olah ikut memudar tergerus arus globalisasi mode. 
Globalisasi menjadikan  kain ini tidak hanya mengalami proses desakralisasi sehingga berubah menjadi 
pakaian  sehari-hari, tetapi juga semakin di lupakan.Kain Sasirangan seolah-olah  semakin tercerabut 
dari hati sanubari masyarakat Kalimantan Selatan.
Perlu segera dilakukan langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan  kain Sasirangan dari kepunahan.
 Sedikitnya ada tiga hal yang dapat dilakukan,  yaitu:
 
1.      Melakukan transmisi pengetahuan nilai-nilai yang  terkandung di dalam kain Sasirangan. 
Mungkin saja, semakin ditinggalkannya kain  Sasirangan oleh masyarakat Kalimantan Selatan, karena
 masyarakat kurang  mengetahui nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Oleh karenanya,  momentum 
otonomi daerah harus dimanfaatkan seluas-luasnya untuk menanamkan  nilai-nilai lokal kepada masyarakat. 
Salah satu cara yang dapat dilakukan  adalah memasukkan kain Sasirangan dan segala turunannya ke dalam 
mata pelajaran  muatan local. ). Dengan  dimasukkan menjadi salah satu pelajaran mulok, maka akan terjadi 
proses  transformasi nilai-nilai yang terkandung dalam kain Sasirangan, dengan demikian  generasi muda akan 
semakin mencintai
2.       Keberpihakan secara politik. Harus ada  kepedulian dari para pemegang kekuasaan untuk  memberikan 
ruang kepada batik Sasirangan untuk berkembang dan mengembangkan  dirinya . ). Misalnya memberikan   
pelatihan peningkatan mutu kepada pada pengrajin, bantuan modal, memfasilitasi  penjualan, dan sebagainya.
3.       Revitalisasi. Setelah ada proses pewarisan (melalui  pendidikan) dan konstruksi kesadaran melalui 
“intervensi” politik, maka hal  lain yang harus dilakukan adalah melakukan revitalisasi dalam:
 (1). Pemanfaatan  kain secara lebih luas. Jika pada awalnya kain Sasirangan hanya
 digunakan untuk  keperluan “jimat” dan pembuatan pakaian untuk keperluan upacara adat,
 maka mungkin  perlu juga mengkreasi (baca: memodifikasi) kain Sasirangan sedemikian rupa   
sehingga model yang dihasilkan mencerminkan busana modern sehingga  generasi muda tidak 
malu untuk menggunakannya ). (2). Ekonomisasi. Seringkali sebuah  kebudayaan ditinggalkan 
oleh para pendukungnya, bukan karena kebudayaan itu  jelek, tetapi karena ia tidak mampu menjanjikan
 kehidupan yang lebih baik  kepada penyokongnya . Oleh karenanya, pengembangan-pengembangan   
mode sehingga kain Sasirangan dapat diterima oleh pasar perlu terus  dilakukan.
 

BAB 5

NILAI-NILAI SASIRAGAN

Di  antara nilai-nilai tersebut : nilai keyakinan, nilai budaya, dan nilai  ekonomi.
·         Nilai keyakinan. Dengan meneroka sejarah keberadaan kain Sasirangan,
 maka akan  diketahui pola perkembangan keyakinan
masyarakat Kalimantan Selatan. Keyakinan 
masyarakat bahwa kain tersebut pertama kali dibuat oleh Patih Lambung
Mangkurat  untuk memenuhi permintaan
Putri Junjung Buih sebagai prasayarat untuk 
menampakkan diri, menunjukkan bahwa kain Sasirangan mempunyai nilai
  supranatural. Oleh karenanya, masyarakat
Kalimantan Selatan juga meyakini bahwa 
kain ini mempunyai kekuatan untuk mengusir roh-roh jahat. Keyakinan
tersebut  secara jelas menunjukkan bahwa
kain ini merupakan pengejawantahan dari 
keyakinan masyarakat Kalimantan Selatan.
   
Nilai
budaya. Kain Sasirangan merupakan salah satu bentuk pencapaian
 kebudayaan  masyarakat Kalimantan Selatan. Pemilihan
bahan, cara pewarnaan, warna yang 
digunakan, dan pembuatan motif-motifnya, merupakan pengejawantahan dari
hasil membaca  dan memahami masyarakat
Kalimantan Selatan terhadap alam dan fenomenanya.  Selain itu, 
munculnya motif-motif kombinasi
juga menunjukkan kreatifitas orang  Kalimantan
Selatan. Dengan kata lain, kain Sasirangan merupakan hasil dari   
pemikian masyarakat Kalimantan Selatan yang
termanifestasi dalam produk yang 
memiliki nilai kultural.

·Nilai
ekonomis. Seiring perkembangan zaman, masyarakat semakin menyadari
 adanya  potensi ekonomi yang terkandung dalam kain
Sasirangan. Hal ini dapat dilihat  dari
semakin banyaknya penggunaan kain Sasirangan, dari sekedar alat 
pengusir  roh-roh jahat menjadi berbagai macam aneka
produk, seperti baju pesta, sandal,  tas,
dan dompet. Selain itu, semakin dihargainya hasil kerajinan lokal   
memberikan nilai tambah ekonomis pada
Sasirangan. Namun demikian, harus juga 
diperhatikan bahwa ekonomisasi tanpa memahami spirit yang terkandung
dalam  Sasirangan dapat menghilangkan
“ruh” yang ada di dalamnya. Penggunaan pewarna 
kimiawi misalnya, mungkin saja akan lebih mengefektifkan pembuatan
kain  Sasirangan, tetapi juga harus
disadari bahwa penggunaan pewarna kimia dapat 
merusak nilai-nilai lokal yang terkandung dalam kain Sasirangan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Tahunan Terbaru PJOK Untuk Jenajang SD

Sistem Reporduksi

Perpanjangan Waktu Pendaftaran Pretest & Persyaratan Pendaftaran Calon Peserta PPG Dalam Jabatan

Pengertian, Ciri - ciri dan Contoh Pantun

Kesetimbangan Kelarutan Part 1